16 Juli 2009

Film: Media Pendidikan transformasi Sosial

Banyak akal dan cara bisa tempuh untuk memfasilitasi perubahan sosial. Salah satnya adalah film sebagai nedia belajar dan pendidikan interaktif rakyat di desa. FIRD memilih media sebagai sarana pendidikan transformasi sosial.
Di berbagai tempat media memainkan peran penting dalam penyampaian informasi. Media seprti radio, tv, koran telah digunakan sebagi sarana pendidikan masyarakat. Alat penyampaian pesan pada pendengar. Masyarakat tradisional juga sudah biasa menggunakan media sebagai alat penyampaian pesan-pesan moral. MIsalnya, teater kampung, lagu rakyat atau daerah, cerita rakyat seperti dingeng, mitos, fabel, atau upacara serta tarian dan syair adat lainnya. Semuanya merupakan media murah namun paling mudah dicernah dan dimengerti oleh masyarakat. Hal itu dikarenakan selain bentuknya sederhana juga disana ruang partisipasi terbuka rakyat untuk terlibat. Juga ada pihak yang tidak merasa tersinggung, mersa nama baik tercemar oleh media tradsional tersebut.
Pendidikan partispatif dijaman ini telah menempatkan tidak hanya objek tapi juga subjek dalam bermedia. Sedang populer sekarang adlah apa yang disebut media berbasisis komuitas. Disana masyrakat setempat terlibat secara langsung sebagai pemeran atau penyusun naskah cerita dan ditunjukan untuk memberi motivasi dan dukungan moril maupun koreksi sosial bagi warga komunitas.
Hal lain, film merupakan media yang sangat efektif dalam memberikan pesan kepada masyrakat. Dalam penyajian film lebih mudah dimengerti. Selain suara, film juga menampilkan gambar yang mempunyai daya pikat yang membentuk opini. Gambar (visual) serta suara (audio) yang langsung ditangkap indra pendengar dan indra penglihatan. Lebih tajam memikat jika skrip cerita berlatar belakang kehidupan masyarakat setempat atau kurang lebih bercerita tentang berbagai hal tentang sedang aktual terjadi di masyarakat. Itulah sisi kuat dari film dibandingkan dengan cerita dari lagu-lagu.
Kekuatan film dalam membangun kesadaran rakyat sedang dipraktekan FIRD. Beberapa pekan bulan Mei, FIRD melakukan pendidikan untuk penyadaran rakyat tentang pengurangan resiko bencana di tiga desa, yakni: Tiwu Tewa, Ndungga, dan Kede Bodu menggunakan media film.
Diketiga desa tersebut, staf lapangan berkeliling memutar film yang bercerita tentang bencana, pertanian organik, serta lingkungan hidup. Sebagai tontonan gratis alias tidak bayar, masyrakat cukup antusias menonton dan kemudian berpendapat tentang soal yang diceritkan film.
Kesadaran disentuh melalui emosi. Cerita yang sensitive dari film berhasil menyentuh rasa sdih dan haru. Gambar dan cerita tentang bencana seakan menohok rasa haru penonton. Suasana kemudian berubah ketika meyaksikan film kartun "Menjaga Lingungan Hidup" dengan cuplikan yang lucu dan menggelitik.
Sesi penting dari proses ini adalah mendalami cerita yang ditonton. Menurutwarga desa, film ini merupakan tontonan yang mengajarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi persoalan yang terjadi.
Kepala Desa Kede Bodu mengatakan, "Film memuat banyak pesan serta masukan kepada kita semua agar selalu waspada terhadap bencana yang datang kapan saja. Namun yang paling penting adalah kita harus menjaga lingkungan hutan kita agar anacaman dan resiko bencana berkurang. Dan hutan serta tanah adalah milik anak cucu kita yang wajib kita jaga dan selamatkan.
..che..

17 Juni 2009

Bencana, Dunia Pendidikan dan Rasa Aman

Periode belakangan ini, pengurangan resiko bencana telah menjadi issu yang mengelinding dan penting oleh berbagai pihak. Pemerintah, ormas dan partai politik, LSM/ Ornop dan Organisasi Masyarakat Sipil mengusung issu ini dalam strategi dan implementasi program. Boleh dikata, masalah pengurangan resiko bencana dimulai sejak diluncurkannya buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) pada 24 Januari 2007 oleh Bappenas dan Bakornas Penanggulangan Bencana.

Dokumen RAN PRB sebagai respon pemerintah Indonesia terhadap upaya pengurangan risiko bencana seperti dalam mandat Hyogo Framework for Action yang kemudian ditetapkannya UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selanjutnya bermunculan peraturan peraturan lain sebagai turunannya serta terbentuknya sebuah Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Sesuai mandat Undang Undang 24/2007, Penanggulangan risiko bencana harus diintegrasikan ke dalam proses pembangunan, salah satu dari proses pengurangan resiko bencana juga diupayakan terintegrasi kedalam sektor pendidikan. Lewat dunia pendidikan ini, diharapkan masalah bencana dan pengurangan risikonya sedapat mungkin dikenalkan kepada anak anak sejak dini dan menciptakan rasa aman di tingkat sekolah.

Untuk komponen pengurangan risiko bencana di dunia pendidikan Sulawesi Tengah terutama tingkat Sekolah Dasar. Di wilayah kabupaten Donggala telah mulai dijalankan sejak Februari 2009 oleh yayasan Jambata bekerjasama dengan Oxfam GB dan European Commision Humanitarian Aid Office (ECHO). Pengintegrasian program pengurangan risko bencana ke dalam dunia pendidikan ditandai sejak berlangsungnya workshop pengurangan risko bencana berbasis sekolah di April 2009.

Workshop melibatkan guru guru dan kepala sekolah dari 14 sekolah yang dianggap berada di daerah rawan bencana. Berlangsung selama tiga hari, workshop ini juga telah melahirkan rekomendasi bersama tentang strategi dan implementasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah. Dalam proses kedepannya prinsip partisipasi seluruh komponen warga sekolah menjadi rekomendasi inti dari peserta.

Issu Utama Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah

Terungkap dalam perumusan kondisi Sekolah Dasar di kabupaten Donggala. Kapasitas warga sekolah di tingkat guru, siswa, dan komite sekolah tentang pengurangan resiko bencana sangatlah minim. Padahal di sisi kerentanan sekolah terhadap bencana cukup tinggi.

Diamati pula bahwa kondisi sekolah pada umumnya berada di wilayah rentan tapi tidak ditopang oleh kondisi fisik sekolah dari aspek sarana dan prasarana yang tahan dan kuat jika bencana datang.

Kembali ke soal rendahnya kapasitas warga sekolah. Minimnya pengetahuan dan pemahaman menjadi hal yang sangat berpengaruh, kondisi ini ditandai dengan kurangnya sumber sumber informasi dan pembelajaran yang memadai. Minimnya panduan, silabus dan materi pengajaran yang terdistribusi dan dapat di akses oleh warga sokolah menjadi hal yang menyulitkan guru dalam pengintegrasian PRB di antara sistem pendidikan dan kebencanaan.

Mengintegrasikan pendidikan bencana ke dunia pendidikan khususnya bagi siswa siswa SD memang dapat dilakukan melalui pendekatan pembelajaran bagi siswa sekolah. Misalnya disisipkanya materi kebencanaan pada mata pelajaran IPA, IPS, Geografi atau ke dalam Muatan Lokal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pendekatan metode pedagogis rentan pada posisi pembebanan siswa dari sisi mata pelajaran. Persoalan ini dapat dilihat dari beratnya beban siswa dengan kurikulum yang ada sekarang.

Di sisi lain, integrasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah harus mengacu pada karakteristik bencana di masing masing sekolah. Tergantung pada spesifikasi daerah dan lokasi geografis sekolah. Seperti hasil Pengkajian Risiko Bencana (disaster risk assement) yang dilakukan yayasan Jambata pada awal 2007 mengemukakan bahwa kabupaten Donggala memiliki keragaman jenis ancaman dan kerentanan.

Lanjut dari hasil kajian Jambata, menjelaskan bahwa keragaman dan tingginya risiko ini tidak dibarengi daya dukung kapasitas masayarakat dan pemerintah dalam menempatkan kondisi ideal penanggulangan risiko bencana. Hal itu, disebabkan karena tidak maksimalnya daya dukung sumberdaya manusia, ekonomi, lingkungan, infrastruktur dan tatanan social terhadap pengurangan risiko bencana.

Bila kemudian apa yang ada dalam hasil DRA dikaitkan pada PRB berbasis sekolah maka pilihan pengintegrasian pendidikan bencana tertuju pada muatan lokal yang ada di masing masing daerah. Tapi kembali ke soal tadi!, apakah tidak memberatkan siswa?

Diakui, beban kurikulum siswa memang sudah berat. Sehingga perlu dicari cara yang efektif untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dunia pendidikan dan masyarakat sekitar sekolah. Salah satu pilihan alternative adalah memasukkannya dalam program pembiasaan siswa dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sesuai dengan karakteristik sumberdaya sekolah.

Media dan Pendidikan Bencana

Dari pilihan alternatif pengintegrasian pendidikan bencana. Pengalaman ujicoba sosialisasi pendidikan bencana di dua Sekolah Dasar yang berbeda yaitu di SD Inpres Pakuli dan SDN Omu memberikan gambaran bahwa penggunaan media dan kegiatan kreatif bagi siswa dinilai cukup efektif dalam proses penyadartahuan bencana di kalangan warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.

Uji coba sosialisasi PRB pada awal Mei 2009 itu, juga menghasilkan startegi baru yang efektif dan efesien. Melalui penggunaan media seperti film pendidikan bencana misalnya. Penayangan film cukup memacu motivasi dan kreativitas siswa untuk mempelajari bencana dan pengurangan risikonya. Selain film, juga digunakan media lain seperti penggunaan komik dinding, poster anak, lukisan anak, mural, lagu lagu berlirik siaga bencana dan permainan kreatif anak yang bermuatan pendidikan bencana.

Di bagian yang sama, masukan dari orang tua siswa dan guru di sekolah dalam diskusi film cukup memberikan masukan dan pertimbangan. Mereka para orang tua yang mendapingi anak anak mereka menyaksikan film bencana dinilai dapat menjadi alternatif tontonan bagi anak yang lebih bersifat mendidik dan membangun karekter positif dan daya pikir anak. Ungkapan ini merupakan wujud kegelisahan orang tua terhadap ramainya tanyangan media publik seperti sinetron atau realitiy show yang tidak mendidik anak dan masyarakat secara umum.

Selain penggunaan media dalam proses sosialisasi dan kampanye di sekolah, kegiatan lain yang akan dilakukan adalah melakukan latihan dan simulasi bersama warga sekolah, pembentukan tim peduli bencana di sekolah seperti tim siaga bencana cilik dan upaya upaya pelibatan guru dan masyarakat dalam mendorong kebijakan tanggap bencana di tingkat pemerintah, khususnya dalam proses penyusunan rencana pembangunan desa berprespektif pengurangan risiko bencana.[afa]

18 Mei 2009

NDUNGGA MENANAM

Ndungga, kampung yang porak poranda dihajar banjir bandan tahun 2003 silam. Kampung ini sering dikunjungi dalam diskusi-diskusi oleh LSM FIRD dan mitra mendapatkan perspektif Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Belajar dari pengalaman longsor dan banjir tahun 2003, masyarakat di kampung ini memandang penting mengamankan kampung dan kehidupannya dari resiko bencana. Konservasi lahan dan kawasan hutan yang rusak disekitar kampung menjadi pilihan untuk dilakukan segera mungkin. Untuk hal ini maka telah menetapkan titik rawan longsor dan banjir yang diperkirakan akan membawa resiko bagi kehidupan di kampung itu. Sesuai jadual yang telah disepakati bersama komponen masyarakat Ndungga, bersama FIRD, tanggal 7 Januari 2009, laki-laki,perempuann dan anak-anak melakukan aksi penanaman anakana Mahoni di setiap lokasi yang kiranya dapat berpotensi mendatangkan bencana tanah longsor dan banjir. Tidak ada acara seremonial mengawali kegitan terseebut. Hal yang sama akan dilakukan di dua desa tetangga dari desa Ndungga, yakni desa Tiwu Tewa dan desa Kede Bodu.
Hasil assessment yang dilakukan oleh FIRD memperlihatkan bahwa ketiga desa tersebut memiliki tingkat ancaman dan resiko yang tinggi. Letak kampung di lereng gunung dan bukit yang terjal dengan struktur tanah yang labil membuat ketiga tersebut sangat rawan dengan potensi bencana tanah longsor dan banjir. Sepintas, kelihatan hutan cukup terpelihara baik, namun jika hujan dengan intensitas yang tinggi maka kecendrungan untuk longsor dan banjir sangat tinggi akan terjadi. Karena itu, yang terpenting adalah masyarakat terus meningkatkan konservasi lahan disamping menata system kesiapsiagaan. Selain itu, dibutuhkan membangun media-media murah yang menyampaikan pesan kewaspadaan. Sistem peringatan dini harus dikembangkan di ketiga desa. Sehingga penanganan bencana bukan lagi sistem tanggap darurat tapi saat sudah harus diubah mulai dari sistem pra, saat dan pasca serta bentuk partipasti masyarakat sendiri yang paling utama” demikian penjelasan Onis.

che

27 April 2009

Situs Jejaring Sosial dan Masalahnya

Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.

Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya.

Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.

Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.

Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."

Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.

Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.

Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.Din (sumber:The Daily Mail)

22 April 2009

Mereka Juga Manusia

Mengenang bulan Desember, kita terpaut berbagai peristiwa kemanusiaan. Tanggal 3 Desember adalah hari Penyandang Cacat Internasional. Tanggal 9 Desember hari Anti Korupsi, tanggal 10 Desember hari Hak Asasi Manusia, dan tanggal 25 Desember adalah hari Kelahiran Yesus Kristus. Hari-hari ini padat dengan hari “Kemanusiaan”. Bagi umat Kristiani, Natal dimaknai sebagi peristiwa Solidaritas. Solidaritas tidak hanya pada hari Natal. Desember dibuka dan awali dengan hari penyandang cacat sedunia, lalau hari HAM. Nuansa solidaritas sesungguhnya dimulai tanggal 3 Desember. Dengan peringatan hari Penyandang Cacat Internasional, sesama umat manusia tanpa mengenal perbedaan diajak untuk bersolider, berbagi rasa dan peduli dengan para penyandang cacat. Mereka juga manusia sama dengan kita yang lainnya. Hanya beda bahwa sesama cacat memiliki kelainan dan kekurangan fisik dan psikis. Tetapi mereka tetaplah manusia sama seperti manusia lainnya, sama bermartabat, sama memiliki hak sebagai manusia. Cacat tidak menghilangkan kemanusiaan seseorang manusia. Yang salah adalah, cara pandang manusia umumnya terhadap penyandang cacat. Maka dapat dikatakan, yang cacat adalah cara pandang dan cara berpikir tentang para penyandang cacat. Maka dapat saja di sekitar kita masih banyak orang yang sehat tetapi cara berpikir cacat.

.che..

13 April 2009

Terpasungnya Budaya Diantara Tiang-tiang Bendera

Apakah yang salah dengan sebuah budaya?
Apakah yang salah dengan sebuah tradisi?

Pertanyaan seperti itu selalu muncul dibenak saya ketika melihat kondisi saat ini yang mana khususnya di bali dalam perayaan nyepi biasanya dengan marak diadakan pawai ogoh-ogoh, tapi kali ini tidak ada sama sekali. Padahal itu merupakan ajang kreasi dan juga pemersatu masyarakat yang mencari nafkah disana sini kembali ketanah kelahirannya dalam setahun sekali berkreasi bersama untuk sebuah tujuan silaturahmi dalam keceriaan. Disisi budayapun dititipkan sebuah makna yang sangat mulia yakni untuk mengusir kejahatan.

Dan sekarang apakah langkah-langkah yang mempunyai tujuan mulia seperti itu mesti mengambil cuti tahunannya untuk memberi kesempatan aneka ragam bendera berkibar disekelilingnya sampai-sampai sang budaya terjepit oleh tiang-tiang bendera yang “nampak berdiri kokoh”.
Padahal sang merah putih saja belum pernah memberikan cuti pada budaya anak bangsanya.

Ah…. daripada bingung-bingung, lebih baik berkreasi yang lain saja bareng anak-anak yuk!!!....
Mudah-mudahan saja kreasi yang ini tidak ikut-ikutan terpasung oleh……….
Karena harapan yang sangat besar dari anak-anak untuk tetap berkreasi nampak jelas diwajahnya ketika diajak membuat komik dinding melukis bersama dipinggir jalan dengan media kanvas (5 x 1,2)m untuk menggantikan maraknya ogoh-ogoh yang biasa mereka lakukan.

Oleh: Made Sumadi

08 April 2009

Belajar Bersama, Kurangi Resiko Bencana

AGAR SEMUA ORANG memiliki pandangan yang sama tentang pengurangan resiko bencana, maka pendekatan perencanaan desa secara partisipatif menjadi salah satu cara yang dianut dalam membangun aksi masyarakat dalam pengurangan resiko bencana. Pijakan pendekatan partisipatif itu menjadikan pola fasilitasi yayasan Jambata dalam menjalankan program pengembangan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi resiko bencana di Donggala tahun 2009 ini.

PROGRAM yang diluncurkan sejak Januari 2009 bekerjasama Oxfam GB dan ECHO ini, juga diharapkan mampu menyediakan ruang pembelajaran bagi masyarakat untuk menganalisa, merencanakan dan bertindak bersama untuk mengurangi resiko bencana di wilayah kabupaten Donggala. Yang akhirnya terumusakan dalam rencana pembangunan desa.

Di 14 desa di kabupaten Donggala, program peningkatan kapasitas untuk pengurangan resiko bencana yang mulai diluncurkan sejak Januari 2009 ini, menjadikan pendekatan partisipatif sebagai model pendidikan kepada masyarakat merumuskan rencana pembangunan di desanya.

Saat ini, terkait dengan gambaran proses yang berjalan. Di 14 desa di Donggala telah berlangsung proses pengkajian desa secara partisipatif untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana secara mandiri. Metode yang digunakan adalah metode pengkajian desa secara partisipatif atau yang biasa disebut dengan istilah partisipatory rural appraisal atau disingkat PRA.

“PRA dengan beberapa alat kajian yang ada kami coba terapkan bersama dengan masyarakat di dataran Kulawi. Di Desa ini, alat alat PRA cukup membantu kami bersama masyarakat untuk menemukenali potensi dan masalah di desa, khususnya masalah kebencanaan secara topikal dalam pengkajiannya”, ungkap Rahmat, petugas lapang yayasan Jambata yang betugas di desa Matauwe, Sungku dan Bolapapu, kecamatan Kulawi Donggala.

Dengan demikian, tambah Rahmat, proses yang dibangun di desa dalam pengurangan resiko bencana secara langsung memberikan nilai praktis program sebagai proses pembelajaran dan memposisikan masyarakat sejak awal perencanaan sampai akhir pelaksanaan sebagai pelaku aktif program.

Hal senada diamini, Mince (45), salah seorang perempuan desa Sungku. Menurutnya dengan pendekatan perencanaan pembangunan dan pengurangan resiko bencana secara partisipatif ini, warga desanya terdorong melibatkan diri dalam pengkajian desa. Dan nantinya, hasil kajian bersama ini dapat diusulkan ke dalam Musrembang di desa. ”Kebutuhan kami dalam pembangunan desa tergambar di rencana bersama ini, termasuk kebutuhan dasar perempuan dalam pengurangan resiko bencana” terang Mince [afa]
ktll