Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.
Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya.
Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.
Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.
Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."
Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.
Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.
Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.Din (sumber:The Daily Mail)
27 April 2009
22 April 2009
Mereka Juga Manusia
Mengenang bulan Desember, kita terpaut berbagai peristiwa kemanusiaan. Tanggal 3 Desember adalah hari Penyandang Cacat Internasional. Tanggal 9 Desember hari Anti Korupsi, tanggal 10 Desember hari Hak Asasi Manusia, dan tanggal 25 Desember adalah hari Kelahiran Yesus Kristus. Hari-hari ini padat dengan hari “Kemanusiaan”. Bagi umat Kristiani, Natal dimaknai sebagi peristiwa Solidaritas. Solidaritas tidak hanya pada hari Natal. Desember dibuka dan awali dengan hari penyandang cacat sedunia, lalau hari HAM. Nuansa solidaritas sesungguhnya dimulai tanggal 3 Desember. Dengan peringatan hari Penyandang Cacat Internasional, sesama umat manusia tanpa mengenal perbedaan diajak untuk bersolider, berbagi rasa dan peduli dengan para penyandang cacat. Mereka juga manusia sama dengan kita yang lainnya. Hanya beda bahwa sesama cacat memiliki kelainan dan kekurangan fisik dan psikis. Tetapi mereka tetaplah manusia sama seperti manusia lainnya, sama bermartabat, sama memiliki hak sebagai manusia. Cacat tidak menghilangkan kemanusiaan seseorang manusia. Yang salah adalah, cara pandang manusia umumnya terhadap penyandang cacat. Maka dapat dikatakan, yang cacat adalah cara pandang dan cara berpikir tentang para penyandang cacat. Maka dapat saja di sekitar kita masih banyak orang yang sehat tetapi cara berpikir cacat.
.che..
.che..
13 April 2009
Terpasungnya Budaya Diantara Tiang-tiang Bendera
Apakah yang salah dengan sebuah budaya?
Apakah yang salah dengan sebuah tradisi?
Pertanyaan seperti itu selalu muncul dibenak saya ketika melihat kondisi saat ini yang mana khususnya di bali dalam perayaan nyepi biasanya dengan marak diadakan pawai ogoh-ogoh, tapi kali ini tidak ada sama sekali. Padahal itu merupakan ajang kreasi dan juga pemersatu masyarakat yang mencari nafkah disana sini kembali ketanah kelahirannya dalam setahun sekali berkreasi bersama untuk sebuah tujuan silaturahmi dalam keceriaan. Disisi budayapun dititipkan sebuah makna yang sangat mulia yakni untuk mengusir kejahatan.
Dan sekarang apakah langkah-langkah yang mempunyai tujuan mulia seperti itu mesti mengambil cuti tahunannya untuk memberi kesempatan aneka ragam bendera berkibar disekelilingnya sampai-sampai sang budaya terjepit oleh tiang-tiang bendera yang “nampak berdiri kokoh”.
Padahal sang merah putih saja belum pernah memberikan cuti pada budaya anak bangsanya.
Ah…. daripada bingung-bingung, lebih baik berkreasi yang lain saja bareng anak-anak yuk!!!....
Mudah-mudahan saja kreasi yang ini tidak ikut-ikutan terpasung oleh……….
Karena harapan yang sangat besar dari anak-anak untuk tetap berkreasi nampak jelas diwajahnya ketika diajak membuat komik dinding melukis bersama dipinggir jalan dengan media kanvas (5 x 1,2)m untuk menggantikan maraknya ogoh-ogoh yang biasa mereka lakukan.
Apakah yang salah dengan sebuah tradisi?
Pertanyaan seperti itu selalu muncul dibenak saya ketika melihat kondisi saat ini yang mana khususnya di bali dalam perayaan nyepi biasanya dengan marak diadakan pawai ogoh-ogoh, tapi kali ini tidak ada sama sekali. Padahal itu merupakan ajang kreasi dan juga pemersatu masyarakat yang mencari nafkah disana sini kembali ketanah kelahirannya dalam setahun sekali berkreasi bersama untuk sebuah tujuan silaturahmi dalam keceriaan. Disisi budayapun dititipkan sebuah makna yang sangat mulia yakni untuk mengusir kejahatan.
Dan sekarang apakah langkah-langkah yang mempunyai tujuan mulia seperti itu mesti mengambil cuti tahunannya untuk memberi kesempatan aneka ragam bendera berkibar disekelilingnya sampai-sampai sang budaya terjepit oleh tiang-tiang bendera yang “nampak berdiri kokoh”.
Padahal sang merah putih saja belum pernah memberikan cuti pada budaya anak bangsanya.
Ah…. daripada bingung-bingung, lebih baik berkreasi yang lain saja bareng anak-anak yuk!!!....
Mudah-mudahan saja kreasi yang ini tidak ikut-ikutan terpasung oleh……….
Karena harapan yang sangat besar dari anak-anak untuk tetap berkreasi nampak jelas diwajahnya ketika diajak membuat komik dinding melukis bersama dipinggir jalan dengan media kanvas (5 x 1,2)m untuk menggantikan maraknya ogoh-ogoh yang biasa mereka lakukan.
Oleh: Made Sumadi
08 April 2009
Belajar Bersama, Kurangi Resiko Bencana
AGAR SEMUA ORANG memiliki pandangan yang sama tentang pengurangan resiko bencana, maka pendekatan perencanaan desa secara partisipatif menjadi salah satu cara yang dianut dalam membangun aksi masyarakat dalam pengurangan resiko bencana. Pijakan pendekatan partisipatif itu menjadikan pola fasilitasi yayasan Jambata dalam menjalankan program pengembangan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi resiko bencana di Donggala tahun 2009 ini.
PROGRAM yang diluncurkan sejak Januari 2009 bekerjasama Oxfam GB dan ECHO ini, juga diharapkan mampu menyediakan ruang pembelajaran bagi masyarakat untuk menganalisa, merencanakan dan bertindak bersama untuk mengurangi resiko bencana di wilayah kabupaten Donggala. Yang akhirnya terumusakan dalam rencana pembangunan desa.
Di 14 desa di kabupaten Donggala, program peningkatan kapasitas untuk pengurangan resiko bencana yang mulai diluncurkan sejak Januari 2009 ini, menjadikan pendekatan partisipatif sebagai model pendidikan kepada masyarakat merumuskan rencana pembangunan di desanya.
Saat ini, terkait dengan gambaran proses yang berjalan. Di 14 desa di Donggala telah berlangsung proses pengkajian desa secara partisipatif untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana secara mandiri. Metode yang digunakan adalah metode pengkajian desa secara partisipatif atau yang biasa disebut dengan istilah partisipatory rural appraisal atau disingkat PRA.
“PRA dengan beberapa alat kajian yang ada kami coba terapkan bersama dengan masyarakat di dataran Kulawi. Di Desa ini, alat alat PRA cukup membantu kami bersama masyarakat untuk menemukenali potensi dan masalah di desa, khususnya masalah kebencanaan secara topikal dalam pengkajiannya”, ungkap Rahmat, petugas lapang yayasan Jambata yang betugas di desa Matauwe, Sungku dan Bolapapu, kecamatan Kulawi Donggala.
Dengan demikian, tambah Rahmat, proses yang dibangun di desa dalam pengurangan resiko bencana secara langsung memberikan nilai praktis program sebagai proses pembelajaran dan memposisikan masyarakat sejak awal perencanaan sampai akhir pelaksanaan sebagai pelaku aktif program.
Hal senada diamini, Mince (45), salah seorang perempuan desa Sungku. Menurutnya dengan pendekatan perencanaan pembangunan dan pengurangan resiko bencana secara partisipatif ini, warga desanya terdorong melibatkan diri dalam pengkajian desa. Dan nantinya, hasil kajian bersama ini dapat diusulkan ke dalam Musrembang di desa. ”Kebutuhan kami dalam pembangunan desa tergambar di rencana bersama ini, termasuk kebutuhan dasar perempuan dalam pengurangan resiko bencana” terang Mince [afa]
ktll
PROGRAM yang diluncurkan sejak Januari 2009 bekerjasama Oxfam GB dan ECHO ini, juga diharapkan mampu menyediakan ruang pembelajaran bagi masyarakat untuk menganalisa, merencanakan dan bertindak bersama untuk mengurangi resiko bencana di wilayah kabupaten Donggala. Yang akhirnya terumusakan dalam rencana pembangunan desa.
Di 14 desa di kabupaten Donggala, program peningkatan kapasitas untuk pengurangan resiko bencana yang mulai diluncurkan sejak Januari 2009 ini, menjadikan pendekatan partisipatif sebagai model pendidikan kepada masyarakat merumuskan rencana pembangunan di desanya.
Saat ini, terkait dengan gambaran proses yang berjalan. Di 14 desa di Donggala telah berlangsung proses pengkajian desa secara partisipatif untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana secara mandiri. Metode yang digunakan adalah metode pengkajian desa secara partisipatif atau yang biasa disebut dengan istilah partisipatory rural appraisal atau disingkat PRA.
“PRA dengan beberapa alat kajian yang ada kami coba terapkan bersama dengan masyarakat di dataran Kulawi. Di Desa ini, alat alat PRA cukup membantu kami bersama masyarakat untuk menemukenali potensi dan masalah di desa, khususnya masalah kebencanaan secara topikal dalam pengkajiannya”, ungkap Rahmat, petugas lapang yayasan Jambata yang betugas di desa Matauwe, Sungku dan Bolapapu, kecamatan Kulawi Donggala.
Dengan demikian, tambah Rahmat, proses yang dibangun di desa dalam pengurangan resiko bencana secara langsung memberikan nilai praktis program sebagai proses pembelajaran dan memposisikan masyarakat sejak awal perencanaan sampai akhir pelaksanaan sebagai pelaku aktif program.
Hal senada diamini, Mince (45), salah seorang perempuan desa Sungku. Menurutnya dengan pendekatan perencanaan pembangunan dan pengurangan resiko bencana secara partisipatif ini, warga desanya terdorong melibatkan diri dalam pengkajian desa. Dan nantinya, hasil kajian bersama ini dapat diusulkan ke dalam Musrembang di desa. ”Kebutuhan kami dalam pembangunan desa tergambar di rencana bersama ini, termasuk kebutuhan dasar perempuan dalam pengurangan resiko bencana” terang Mince [afa]
ktll
07 April 2009
03 April 2009
Kecacatan dan Kemiskinan
Terkadang orang melihat fenomena kecacatan hanya dari mistis magis, yaitu selalu mengkaitkannya dengan takdir, dosa dan kutukan atas masa lalu seseorang atau sebuah keluarga. Namun kenyataan yang lain dalam realitas pendampingan kami sebagai aktivist LSM, fenomena kecacatan tidaklah demikian adanya. Yang terjadi adalah karena pengaturan gizi dan perilaku sehat pre-natal, natal dan sesudahnya, yang sangat berpengaruh terhadap kondisi seseorang anak manusia, apakah menjadi cacat atau tidak. Pengaturan gizi dan perilaku sehat, sangat berhubungan erat terhadap kondisi anak manusia selanjutnya. Pengaturan gizi keluarga dan perilaku sehat, adalah kondisi yang harus didorong secara terus-menerus menuju kondisi ideal hidup seorang anak manusia.
Namun kondisi tersebut sangat bergantung kepada tingkat kehidupan ekonomi sebuah keluarga. Bagaimana mungkin mereka dapat mengatur hidupnya ketika mereka masih miskin papa ? Makan sehari saja tidak cukup, apalagi harus mengatur pola makan 4 sehat 5 sempurna. Menilik fenomena kecacatan, maka hal yang perlu didorong dan dikembangkan adalah meningkatkan juga ekonomi keluarga, agar mereka dapat mengatur hidupnya selayak anak manusia yang bermartabat. Selain itu, perlu juga dimotivasi kebiasaan hidup sehat dalam keluarga agar perilaku ini menjadi sebuah “ habit “.
FIRD sebagai sebuah LSM lokal yang selama ini bekerja di desa-desa di Ende dan Flores pada umumnya, sedang mengembangkan program rehabilitasi kecacatan berbasis masyarakat, dengan melandaskan prinsip programnya pada pendekatan : Need Based dan Right Based, yang dikembangkan secara integrasi dan holistik. Jika ingin mengembangkan program yang sama di tempat anda, FIRD dapat menjadi teman diskusi anda. Kami tunggu dengan lapang dada. Terima kasih.
vs fird
Namun kondisi tersebut sangat bergantung kepada tingkat kehidupan ekonomi sebuah keluarga. Bagaimana mungkin mereka dapat mengatur hidupnya ketika mereka masih miskin papa ? Makan sehari saja tidak cukup, apalagi harus mengatur pola makan 4 sehat 5 sempurna. Menilik fenomena kecacatan, maka hal yang perlu didorong dan dikembangkan adalah meningkatkan juga ekonomi keluarga, agar mereka dapat mengatur hidupnya selayak anak manusia yang bermartabat. Selain itu, perlu juga dimotivasi kebiasaan hidup sehat dalam keluarga agar perilaku ini menjadi sebuah “ habit “.
FIRD sebagai sebuah LSM lokal yang selama ini bekerja di desa-desa di Ende dan Flores pada umumnya, sedang mengembangkan program rehabilitasi kecacatan berbasis masyarakat, dengan melandaskan prinsip programnya pada pendekatan : Need Based dan Right Based, yang dikembangkan secara integrasi dan holistik. Jika ingin mengembangkan program yang sama di tempat anda, FIRD dapat menjadi teman diskusi anda. Kami tunggu dengan lapang dada. Terima kasih.
vs fird
Langganan:
Postingan (Atom)